Iboih Beach, Sabang, Weh Island, Aceh.

Iboih Beach, Sabang, Weh Island, Aceh.

Jumat, 16 Mei 2014

[A place To Remember] Rumah : Sebuah Monumen Perjuangan, Cinta dan Kenangan.

Lhokseumawe, sebuah kota di Aceh Utara yang sarat kenangan bagiku, bagi keluargaku. Kota ini memang bukan tempat aku dilahirkan, bukan pula kampung halaman ke-2 orang tuaku. Tapi di kota ini aku tumbuh. Kota yang bagiku bukan cuma sebuah tempat tinggal, tapi juga surga dengan segala hal yang bisa membuat setiap penghuninya merasa nyaman. Segala hal tentang kota ini, memang berubah, sejak referendum......Tapi, keindahan kota ini, bagiku, dengan kenangan yang tlah tergores di sana.....adalah tetap surga bagi kenangan-kenangan itu....

Di salah satu sudut kota kecil itu, di jalan bugis, di ujung jalan, ada sebuah rumah yang masih berdiri tegar di sana. Menerima nasibnya, ditinggal para penghuni yang dulu selalu diteduhinya saat bercengkrama. Rumah itu, seakan monumen terpenting dalam hidupku, hidup keluarga kami. Gambaran perjuangan, cinta dan kenangan dari orangtua kami, Papa tersayang.

Rumah itu tidak megah seperti istana, tidak pula tinggi menjulang bak monumen seharusnya. Tapi ya......rumah itu adalah istana dan monumen bagiku. Bukan karena bentuknya, tapi karena kenangannya. Dan bagiku, kenangan itu jauuuh lebih mahal dan penting, dibandingkan yang lainnya.


'Istana' Kami : Monumen Perjuangan, Cinta dan Kenangan


Setelah kepergian Mama.....Papa terus melakukan pembangunan rumah ini. Ceritanya, sebelum Mama pergi, beliau sangat ingin membangun rumah di sana. Keinginan yang sederhana dari seorang istri. Beliau tak suka jika harus tinggal di tepi jalan raya yang ramai dan ribut. Maka letak tanah pilihannya adalah di daerah yang tenang, jauh dari keramaian.....di depan tanah ini ada beberapa tambak ikan milik warga setempat. Di sebelah tambak-tambak itu, ada sungai yang terus mengalir ke laut. Setiap pagi,kita bisa melihat banyak pencari kerang di sana. Udara pagi yang bersih dan sejuk......angin yang terus berhembus sepoi-sepoi......tempat yang sangat asyik untuk bermain layang-layang.- sayang, aku tak menyimpan foto-foto saat asyik bermain layang-layang bersama kakek-

Tambak ikan di depan rumah. Di seberangnya lagi ada sungai. Sayang tidak punya fotonya.


Bagian Depan rumah saat di renovasi


Kenangan paling tak terlupakan adalah, saat hampir setiap malam minggu, Papa mengajak kami mengunjungi rumah yang masih dalam tahap bangun itu- kami tinggal di rumah perusahaan tempat Papa kerja-. Naik ke lantai 3, duduk beralaskan beton abu yang dingin, makan kue pancung atau martabak yang kami beli di kota sebelumnya, dan menatap bintang-bintang di langit. Kami menikmati suasana malam dengan sedikit sekali bercerita. Kami lebih memilih makan sambil menikmati keindahan langit malam. Jujur, kalau sekarang, aku berfikir, apa yang kira-kira difikirkan Papa ku waktu itu yaaa?

Yang aku tau, rumah itu mengingatkannya pada almarmumah Mama. Janji untuk membangunkannya rumah yang belum sempat ditepatinya. 

Aku sendiri pun adalah saksi, bagaimana perjuangannya membangun rumah itu. Papa bukan orang kaya raya yang dengan 'abrakadbra' bisa menyiapkan rumah. Perjuangan yang dilaluinya ikut aku rasakan. Aku masih ingat, saat tinggal di sana bersama nenek dan kakek. Bagaimana kakek pun ikut memplamir pintu-pintu dan plafon yang terbuat dari kayu. Papa yang setiap hari libur kerja takkan pernah absen untuk terus memantau perkembangan rumah, yang dibangun sedikit demi sedikit.

Kini, rumah itu pun sendiri.Kadang hanya ditemani oleh orang-orang yang mengontraknya dlam jangka bulan atau tahun. Pedih....setiap mengingat rumah yangtak lagi mampu kami rawat dengan baik, karena tak satu pun dari kami, rezekinya di sana. Tiga orang saudara ku se-ibu,semuanya rezekinya di pulau Jawa. Aku sendiri, terdampar di kota minyak Rumbai,Pekanbaru. Hingga tak bisa lagi tiap kali kami menjaga 'monumen' ini.

Terakhir kali yang aku ingat adalah kata-kata papa yang serak dan terdengar sangat sedih, saat memutuskan untuk menjual rumah itu. Satu hal yang dulu tak pernah diinginkannya.Bahkan Papa selalu bilang,"Papa ingin masa tua papa di sana".Aku salah satu yang merasa paling bersalah, tak mampu menjaga tanda cinta Papa itu. Rasa bersalah itu sedikit mencair, kala suatu kali Papa bilang bahwa dia sudah mengikhlaskan jika rumah itu akan dijual. Dia hanya berharap, rumah itu dapat bermanfaat bagi kami. Aku ingin menangis.....aku tahu isi hatinya. 

Jalan di depan rumah sekarang sudah beton, tidak tanah lagi...

Rumah itu, bukan tempat wisata terindah di dunia, bukan monumen sehebat menara eiffel yang ingin aku kunjungi, bukan bangunan megah bagai istana.......tapi bagiku, bangunan yang kusebut rumah itu adalah istana di dalam hatiku. Bukti kasih dan sayang Papaku kepada kami anak-anaknya.....Terima kasih Papa.....Semoga Allah SWT mencukupkan bagimu apa yang telah Papa usahakan.....Amiiin.










8 komentar:

  1. Kebayang perasaannya, Mak. Rumah jerih-payah yang penuh kenangan terpaksa ditinggalkan. Oalaah ternyata mak Dhona, Pekanbarunya di Rumbai? Waaah siapa tahu saya ada rejeki ke sana kapan2 bisa main ke tempat mak Dhona ya :)

    Saya di Minas dulu Mak, habis nikah tahun 99 trus pindah ke Rumbai tahun 2001. Tapi tahun 2002 awal suami saya resign dan kami balik ke Sulawesi :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mak.....apalagi bagi Papa kami, yang lebih merasa 'sehati' dengan rumah itu.

      Iya Mak Mugniar, saya di Rumbai...
      Amiiin....beneran ya Mak, mampir kalo ke sini...:-)

      Hapus
  2. maak..maukah terima liebster award dariku ? http://supertayo.blogspot.com/2014/05/liebster-award-dariku-untukmu.html

    BalasHapus
    Balasan
    1. waaaa....surprise....
      Tenkiyu so much Mak Arifah...segera ke tekapeh....

      Hapus
  3. pastinya sedih banget ya harus berpisah dengan tempat kenangan :(

    Terima kasih telah berpartisipasi dalam GA ini. Good luck.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebetulnya rumah itu belum terjual Mak...
      Beberapa kali ditawar pembeli, papa belum merasa 'cocok'...
      Tapi ya.....bagi saya pribadi, rasanya seperti tak mampu berterima kasih kepada Papa saya karena tak mampu menjaga rumah itudengan baik....:-(

      Terima kasih dah mampirya Mak.....:)

      Hapus
  4. kenangan memang tak akan terbeli dgn apapun ya mak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener Mak Santi Dewi...gak akan pernah....:-(

      Makasih ya Mak dah mampir....

      Hapus

Terima kasih sudah mampir di blog ini. Feel free to make any comment yaaa...