Iboih Beach, Sabang, Weh Island, Aceh.

Iboih Beach, Sabang, Weh Island, Aceh.

Selasa, 13 Juni 2023

"Menjerumuskan" ; Diantara Prestasi, dan Apresiasi

Ngedapur setelah kerja itu sesuatu ya. Meski badan dan kadang pikiran lelah, harus tetap temenan sama kompor dan kawan-kawan biar anak-anak bisa makan masakan rumahan. Tapi kalo sudah selesai, lalu dimakan dengan lahap, diapresiasi dengan dibilang ‘’Enak Ma’’. Lelah itu seakan terbayar dan hilang seketika. Apalagi diapresiasi oleh suami dengan tanya :”Besok maunya kita makan dimana?” atau “Mama besok mau jalan kemana?” Berbunga-bunga hati....๐Ÿ˜

Begitu besarnya pengaruh apresiasi ya. Hati yang senang mempengaruhi rasa kita terhadap kondisi tubuh. Bahkan setelahnya akan mikir, besok buat apa lagi ya, yang anak-anak suka. Ya gak sih?  Karena pada dasarnya manusia tendesinya akan mencoba mempertahankan rasa bahagia yang dihasilkan dari apresiasi yang didapat (Indrawan Nugroho-2023).

Ini mengingatkan diri untuk selalu berusaha mengapresiasi capaian-capaian yang diperoleh oleh anak-anakku, termasuk mahasiswaku.

 ----------------------------------------------------

Mengajarkan secara teoritis bahwa mempunyai prestasi itu adalah hal yang menyenangkan, seringkali gak ampuh buat mayoritas siswa. Hanya sedikit yang sejak awal punya self motivation maupun competitive spirit yang akan membuat dia mencari cara untuk berbuat yang terbaik, berbuat lebih dan berprestasi.

Sehingga kadang tidak bisa rasanya jika kita hanya berharap, tanpa mengajarkan secara praktis, bahwa nanti siswa-siswa kita akan 'jalan' tanpa di-trigger. Berharap bahwa itu akan menjadi prestasi mereka bukan karena kita. Menurut saya, kita harus berusaha memahami karakter siswa sehingga tidak selalu cara yang gampang dan ringan bagi kita akan berhasil. Kecuali, mereka sudah terbentuk menjadi anak-anak emas yang memang akan berkilau tanpa perlu diasah lagi. Karena tidak semua kita seberuntung itu. Jadi, effort awal tetap harus dilakukan.

Sometimes pada tahap awal, kita harus “menjerumuskan” mereka pada suatu kegiatan yang bisa memberikan pengalaman kepada mereka tentang bahagianya bisa melakukan yang terbaik bahkan menghasilkan prestasi. Dan mungkin di tahap awal itu, sebut saja bahwa prestasinya masih mayoritas prestasi kita, karena banyak hal yang kita bantu rencanakan, kita kontrol dan lain-lain. Menurut saya ini sah saja, karena dalam tahap inilah mereka belajar tahapannya dan cara-cara menjalankannya. Prosesnya mungkin akan melelahkan, tapi mereka akan belajar banyak hal, mulai dari managemen waktu, membuat perencanaan dan timeline, koordinasi, bagi tugas, bertanggung jawab atas tugasnya dan banyak lagi. Mereka nanti akan paham, bahwa pengorbanan dibutuhkan untuk sebuah hasil yang maksimal.

Jika hasil dari proses ternyata belum menghasilkan prestasi yang membahagiakan, mungkin kita bisa ajak mereka untuk melakukan analisa terhadap kemungkinan penyebabnya. Mempelajari keunggulan kompetitor atau saingan, melihat mungkin kekuatan kita yang belum tereksplore dengan baik, sehingga proses ini akan membantu siswa mempersiapkan dirinya lebih baik di pertandingan berikutnya. Prestasi sebetulnya bonus, karena justru peningkatan softskill adalah hadiah utamanya.

Oh ya, jangan kita lupa, kebahagiaan tadi itu juga harus didukung penuh dengan apresiasi yang pantas yang bisa memberikan pengalaman bahagia yang luar biasa sehingga siswa-siswa ini secara alam bawah sadar akan merencanakan prestasi-prestasi lanjutan tanpa perlu dimantik. Kalau sudah mencapai level ini, tujuan bahwa prestasi mereka adalah hasil mereka, inshaAllah akan bisa dicapai. Tugas kita tinggal mengarahkan saja. Lalu jadikan siswa-siswa ini mentor bagi adik-adiknya, agar lebih banyak lagi yang ‘terjerumus’.

------------------------------------------------------



 
 Rumbai-saat masih diruang dingin dengan kesendirian-


 
Terdorong untuk membuat tulisan ini, saat sesi motivasi dari Dosen Industri mata kuliah Kepemimpinan dan Continuous Improvement. Dengan bahasa yang berbeda tapi makna yang sama, beliau menyampaikan, bahwa sebuah prestasi akan menghasilkan rencana prestasi-prestasi lainnya.

Rabu, 15 Februari 2023

Stres, berbahaya?

Credit by Google.com


Kata Stres, terdengar sangat umum di jaman now. Terlebih saat Covid-19 menyerang, dampak buruknya tidak hanya dirasakan di sektor kesehatan saja, bahkan hampir semua sektor terkena imbasnya. Pembatasan aktivitas masyarakat berpengaruh besar terhadap aktivitas bisnis yang ujung-ujungnya ikut menghantam sektor perekonomian. Pengurangan tenaga kerja secara besar-besaran yang dibarengi dengan naiknya harga bahan pokok menyebabkan banyak sekali masyarakat yang bisa dibilang, hampir tidak bisa bertahan untuk hidup layak. Berbagai masalah yang muncul memberi dampak pada kesehatan mental banyak orang. 

Meski Covid-19 sudah hampir bisa dibilang 'pergi, tetap saja sisa-sisa hantamannya masih terasa. Dari sisi pendidikan pun tidak terhindarkan, pembelajaran online yang terpaksa dilakukan saat covid dengan ketidaksiapan dari berbagai sisi, akhirnya ikut andil dalam menghasilkan siswa-siswa dengan kompetensi yang tidak sesuai harapan bahkan semakin kecanduan gadget.

Eh, kok kayaknya stres cuma gara-gara Covid ya? Enggak juga sih, sejak sebelum covid juga orang yang stres banyak. Tapi gak bisa dipungkiri bahwa akibat Covid, jumlahnya meningkat. Salah satunya data dari [1] dimana di tahun 2018 usia dewasa di US yang dilaporkan mengalami gejala serius distress ada 3,9%. Namun di April 2020, saat Covid mulai melanda, angkanya naik drastis menjadi 13,6%. Di data [2] bahkan menjadi 25% pada Juni 2020. 

Okeh, stoplah di soal Covid ya.

Sebetulnya stres itu memang berbahaya apa gak sih? Percaya atau tidak, sebetulnya manusia itu butuh stres loh. Ah masak? Iya. Stres dibutuhkan tubuh untuk membangun motivasi dan keinginan untuk berbuat lebih dan lebih. Bahkan gara-gara stres nih, manusia bisa menunjukkan kemampuan terbaiknya. Kondisi stres ini disebut dengan Eustress, stres yang bisa berdampak positif. Stres yang masih mampu ditangani oleh tubuh. Namun, jika stres terus berlanjut dalam jangka waktu yang lama hingga berada di limit atau batas kemampuan tubuh untuk meng'handle''nya, maka terjadilah Distress [3-4]. Nah ini yang berbahaya dan berdampak negatif. Biasa kondisi ini kita sebut depresi atau stress akut/kronik.

Hoeger and Hoeger, 2008, p.327

Munculnya stres biasanya juga dibarengi oleh munculnya beberapa sinyal fisiologis tubuh. Banyak penelitian yang mencoba mengukur tingkat stres dari indikator-indikator sinyal tersebut melalui beragam triger atau pemicu.  Dari beberapa penelitian menyebutkan, ciri-ciri stres itu bisa dilihat dari sinyal EKG, respiration rate, kelembaban kulit, suhu tubuh, tekanan darah dan lainnya. Kamu pasti juga pernah mengalaminya meski tidak menyadarinya.

Contoh, beberapa waktu lalu, aku diskusi panjang nih sama seseorang melalui media smartphone. Banyak hal yang dibicarakan, rencana dan tantangan-tantangannya. Setelah dari situ, pikiran melanglang buana kemana-mana. Hahahaha. Lalu bersamaan dengan pikiran tadi, aku merasakan detak jantung yang meningkat, suhu tubuh yang terasa lebih hangat, jari jemari terasa lebih lembab, meski hembusan nafas masih sangat teratur. Nah kalo soal nafas yang ritmenya gak naik ini, apa mungkin memang aku berusaha mengatur nafas agar detak jantung menjadi kembali normal ya? Artinya reaksi yang tanpa sadar dilakukan untuk mengimbangi degup jantung yang terpacu. Sayangnya gak bisa cek tekanan darah saat itu, soalnya tensimeter digitalku tinggal di kantor. Hahahaha.....menjadikan diri sendiri sebagai subjek uji ๐Ÿ˜…. Setelah beberapa saat, kondisi ini hilang, alias kembali ke nomal. 

Aku menduga, secara ini analisis diri sendiri ya dilarang protes๐Ÿ˜, semoga ini adalah Eustress, keadaan yang muncul karena diskusi yang mengarah ke harapan dan mimpi yang menuntut untuk segera diwujudkan dengan segala tantangan yang akan dihadapi, sehingga tubuh bereaksi terhadap apa yang kita fikirkan.

Luar biasa ciptaan Tuhan, betapa semua fungsi di dalam tubuh kita berhubungan antara satu dengan lainnya. Otak berfikir tentang sesuatu, maka seluruh tubuh ikut menghasilkan reaksi terhadap apa yang difikirkan otak. That's why kita diminta untuk selalu berfikir positif ya. Gampang? Ya gak lah...kalo gampang gak bakalan ada masalah berarti di muka bumi ini.

Kalau menurut kamu, pernah ngerasain Eustress saat apa?





Rererensi :

[1] McGinty E.E., Presskreischer R., Han H., Barry C.L. Psychological distress and loneliness reported by US adults in 2018 and April 2020. JAMA. 2020;324:93–94.
[2] Gloster A.T., Lamnisos D., Lubenko J., Presti G., Squatrito V., Constantinou M., Nicolaou C., Papacostas S., Aydin G., Chong Y.Y., Chien W.T., Cheng H.Y., Ruiz F.J., Garcia-Martin M.B., Obando-Posada D.P., Segura-Vargas M.A., Vasiliou V.S., McHugh L., Hofer S., Baban A., Dias Neto D., Nunes da Silva, A., Monestes J.L., Alvarez-Galvez J., Paez-Blarrina M., Montesinos F., Valdivia-Salas S., Ori D., Kleszcz B., Lappalainen R., Ivanovic I., Gosar D., Dionne F., Merwin R.M., Kassianos A.P., Karekla M. Impact of COVID-19 pandemic on mental health: an international study. PLoS ONE. 2020;15
[3] H.Selye, The Stress of Live, 2nd ed. New York: The McGraw-Hill Companies, 1978
[4] H.Ursin and H. Eriksen, "The Cognitive activation theory of Stress", Psychoneuroendocrinology, vol 29, pp.567-592, 2004.