Kata Stres, terdengar sangat umum di jaman now. Terlebih saat Covid-19 menyerang, dampak buruknya tidak hanya dirasakan di sektor kesehatan saja, bahkan hampir semua sektor terkena imbasnya. Pembatasan aktivitas masyarakat berpengaruh besar terhadap aktivitas bisnis yang ujung-ujungnya ikut menghantam sektor perekonomian. Pengurangan tenaga kerja secara besar-besaran yang dibarengi dengan naiknya harga bahan pokok menyebabkan banyak sekali masyarakat yang bisa dibilang, hampir tidak bisa bertahan untuk hidup layak. Berbagai masalah yang muncul memberi dampak pada kesehatan mental banyak orang.
Meski Covid-19 sudah hampir bisa dibilang 'pergi, tetap saja sisa-sisa hantamannya masih terasa. Dari sisi pendidikan pun tidak terhindarkan, pembelajaran online yang terpaksa dilakukan saat covid dengan ketidaksiapan dari berbagai sisi, akhirnya ikut andil dalam menghasilkan siswa-siswa dengan kompetensi yang tidak sesuai harapan bahkan semakin kecanduan gadget.
Eh, kok kayaknya stres cuma gara-gara Covid ya? Enggak juga sih, sejak sebelum covid juga orang yang stres banyak. Tapi gak bisa dipungkiri bahwa akibat Covid, jumlahnya meningkat. Salah satunya data dari [1] dimana di tahun 2018 usia dewasa di US yang dilaporkan mengalami gejala serius distress ada 3,9%. Namun di April 2020, saat Covid mulai melanda, angkanya naik drastis menjadi 13,6%. Di data [2] bahkan menjadi 25% pada Juni 2020.
Okeh, stoplah di soal Covid ya.
Sebetulnya stres itu memang berbahaya apa gak sih? Percaya atau tidak, sebetulnya manusia itu butuh stres loh. Ah masak? Iya. Stres dibutuhkan tubuh untuk membangun motivasi dan keinginan untuk berbuat lebih dan lebih. Bahkan gara-gara stres nih, manusia bisa menunjukkan kemampuan terbaiknya. Kondisi stres ini disebut dengan Eustress, stres yang bisa berdampak positif. Stres yang masih mampu ditangani oleh tubuh. Namun, jika stres terus berlanjut dalam jangka waktu yang lama hingga berada di limit atau batas kemampuan tubuh untuk meng'handle''nya, maka terjadilah Distress [3-4]. Nah ini yang berbahaya dan berdampak negatif. Biasa kondisi ini kita sebut depresi atau stress akut/kronik.
Munculnya stres biasanya juga dibarengi oleh munculnya beberapa sinyal fisiologis tubuh. Banyak penelitian yang mencoba mengukur tingkat stres dari indikator-indikator sinyal tersebut melalui beragam triger atau pemicu. Dari beberapa penelitian menyebutkan, ciri-ciri stres itu bisa dilihat dari sinyal EKG, respiration rate, kelembaban kulit, suhu tubuh, tekanan darah dan lainnya. Kamu pasti juga pernah mengalaminya meski tidak menyadarinya.
Contoh, beberapa waktu lalu, aku diskusi panjang nih sama seseorang melalui media smartphone. Banyak hal yang dibicarakan, rencana dan tantangan-tantangannya. Setelah dari situ, pikiran melanglang buana kemana-mana. Hahahaha. Lalu bersamaan dengan pikiran tadi, aku merasakan detak jantung yang meningkat, suhu tubuh yang terasa lebih hangat, jari jemari terasa lebih lembab, meski hembusan nafas masih sangat teratur. Nah kalo soal nafas yang ritmenya gak naik ini, apa mungkin memang aku berusaha mengatur nafas agar detak jantung menjadi kembali normal ya? Artinya reaksi yang tanpa sadar dilakukan untuk mengimbangi degup jantung yang terpacu. Sayangnya gak bisa cek tekanan darah saat itu, soalnya tensimeter digitalku tinggal di kantor. Hahahaha.....menjadikan diri sendiri sebagai subjek uji 😅. Setelah beberapa saat, kondisi ini hilang, alias kembali ke nomal.
Aku menduga, secara ini analisis diri sendiri ya dilarang protes😁, semoga ini adalah Eustress, keadaan yang muncul karena diskusi yang mengarah ke harapan dan mimpi yang menuntut untuk segera diwujudkan dengan segala tantangan yang akan dihadapi, sehingga tubuh bereaksi terhadap apa yang kita fikirkan.
Luar biasa ciptaan Tuhan, betapa semua fungsi di dalam tubuh kita berhubungan antara satu dengan lainnya. Otak berfikir tentang sesuatu, maka seluruh tubuh ikut menghasilkan reaksi terhadap apa yang difikirkan otak. That's why kita diminta untuk selalu berfikir positif ya. Gampang? Ya gak lah...kalo gampang gak bakalan ada masalah berarti di muka bumi ini.
Kalau menurut kamu, pernah ngerasain Eustress saat apa?
Rererensi :
[1] McGinty E.E., Presskreischer R., Han H., Barry C.L. Psychological distress and loneliness reported by US adults in 2018 and April 2020. JAMA. 2020;324:93–94.
[2] Gloster A.T., Lamnisos D., Lubenko J., Presti G., Squatrito V., Constantinou M., Nicolaou C., Papacostas S., Aydin G., Chong Y.Y., Chien W.T., Cheng H.Y., Ruiz F.J., Garcia-Martin M.B., Obando-Posada D.P., Segura-Vargas M.A., Vasiliou V.S., McHugh L., Hofer S., Baban A., Dias Neto D., Nunes da Silva, A., Monestes J.L., Alvarez-Galvez J., Paez-Blarrina M., Montesinos F., Valdivia-Salas S., Ori D., Kleszcz B., Lappalainen R., Ivanovic I., Gosar D., Dionne F., Merwin R.M., Kassianos A.P., Karekla M. Impact of COVID-19 pandemic on mental health: an international study. PLoS ONE. 2020;15
[3] H.Selye, The Stress of Live, 2nd ed. New York: The McGraw-Hill Companies, 1978
[4] H.Ursin and H. Eriksen, "The Cognitive activation theory of Stress", Psychoneuroendocrinology, vol 29, pp.567-592, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir di blog ini. Feel free to make any comment yaaa...